Kamis, 05 November 2015

perubahan (part 1: motivator)

Sejak awal kuliah gw mulai sering baca buku. Gw memang bukan tipe pembaca yg rajin. Hanya buku tertentu yg menarik perhatian gw. Bukan seperti mahasiswi pada umumnya, gw ga terlalu suka novel, cerita fiksi atau kisah romantis ala anak abg. Dari sekian jenis buku (kecuali buku pelajaran tentunya), gw suka baca kisah sukses seseorang. Bukan biografi yg gw baca, tapi deretan kalimat motivasi dari motivator terkenal maupun pengusaha sukses, itu yg bisa bikin gw betah baca berjam2 lamanya.

Dengan membaca kalimat motivasi, cerita tentang perjuangan hidup, atau kisah sukses jadi orang kaya, gw merasa dapat vitamin segar. Saat gw mulai jenuh dengan rutinitas kampus, banyaknya tugas kuliah, dosen yg cara ngajarnya ga asik, materi kuliah yg ribet, pokonya saat semua keadaan di sekitar gw terasa begitu membosankan, disitulah gw memutuskan untuk pergi ke toko buku. Gw pengen tau cara orang sukses memandang hidup, cara mereka mengatasi masalah, cara mereka menejar mimpi, cara bagaimana saat mereka terjatuh dan akhirnya bisa bangkit.

Pola pikir dan sudut pandang para pengusaha juga sesuatu yg menarik. Cerita tentang kehidupan mereka saat miskin sampai akhirya masuk daftar orang terkaya, hal itu selalu menjadi semangat tersendiri. Mempelajari bagaimana mereka merespon suatu peluang, apa yg mereka lakukan saat gagal dan perubahan apa yg mereka lakukan, semuanya terasa jauh lebih menyenangkan daripada topik yg dibahas oleh dosen statistik.

Kecintaan gw sama buku psikologi popular tsb mulai berkurang saat gw masuk ke dunia kerja. Gw makin jarang baca buku. Tapi gw masih suka baca artikel tentang kisah sukses pengusaha dan masih seneng nonton acara motivator di youtube. Saat gw mulai lelah dengan rutinitas kerjaan, gw akan lebih termotivasi setiap baca atau dengar kalimat2 penuh semangat dan harapan. Gw bisa mengsugesti diri sendiri bahwa dunia tidak sekejam omongan orang, bahwa banyak cara mudah untuk sukses, bahwa kegagalan hanya sebuah proses, bahwa kita bisa merubah dunia hanya dengan merubah pola pikir.

Seiring dengan bertambahnya usia, semakin banyak masalah yg dihadapi dan semakin beragamnya jenis manusia yg ditemui, gw merasa ada yg berubah dari diri gw. Sekarang respon gw saat dengar acara motivator jadi berbeda. Dulu gw selalu mengamini semua tips yg motivator ajarkan , tapi sekarang gw malah merasa hal itu tidak masuk akal. Dulu gw semangat saat dengar solusi yg motivator tawarkan, tapi sekarang gw malah merasa semua mustahil. Dulu gw seneng cerita sukses pengusaha, tapi sekarang gw beranggapan itu hanya sebuah keberuntungan.

Kenapa gw berubah? Apa yg salah? Mana yg lebih baik, gw yg dulu atau gw yg sekarang?
Keresahan ini cukup menggangu, gw bingung menilai diri sendiri. Apakah dunia kerja ibukota begitu kejamnya sampai bisa membunuh khayalan gw saat masih kuliah? Kemana semangat, mimpi, gairah dan ambisi yg gw punya saat ‘muda’ dulu? Mengapa perubahan ini justru membuat gw sedih?


Entahlah .........

Selasa, 13 Oktober 2015

r i n d u

Rindu ini mencengkramku setiap kali dengar namanya
Tak sanggup ku terlepas dari ikatannya

Bagai awan yang tak ada tempat lain untuk dituju selain langit
Sejauh apa pun awan berusaha pergi, langit tetap saja tak merelakannya pergi
Kecuali awan sendiri yang memutuskan untuk menjadi hitam dan akhirnya hilang berganti hujan




Ku pejamkan mata saat rindu terlalu menyiksaku
Berharap dia akan lelah karena ku acuhkan
Tapi ini terlalu kuat untuk dilawan
Bayangnya makin nyata saat dalam gelap

Inginku enyahkan rindu dan menggantinya dengan benci
Karena tak mungkin ku ganti dia dengan rasa lain
Namun untuk membenci rindu pun ku tak mampu

Rindu memang tak terkalahkan
Kecuali dengan sebuah pertemuan

Selasa, 25 Agustus 2015

cinta tak bisa dihakimi

Seperti judul di atas, tulisan ini gw buat bukan untuk menghakimi siapa pun, bukan pula karena merasa gw benar dan mereka salah. Tulisan ini lahir sebagai akibat dari pertanyaan yg sering muncul tapi belum pernah gw utarakan sama siapapun.

Maaf kalau gw harus menyebutkan nama-nama artis dalam tulisan ini, mungkin pendapat gw salah, atau bahkan justru cenderung ngawur. Gw tidak ada niat sedikit pun untuk menjatuhkan mereka lewat tulisan ini.

Perasaan ini pertama kali muncul saat gw denger bahwa Gleen Fredly menikah dengan Dewi Sandra (akhirnya pun bercerai). Lalu perceraian Marcell Siahaan dengan Dewi Lestari (kemudian menikah dengan pilihan lainnya). Rio Febrian yg juga menikahi pacarnya saat itu. Dan yg baru saja terjadi, Franky Sihombing menyatakan akan menikah dengan Feby Febiola. Termasuk Sammy Simorangkir yg sedang pacaran dengan mantan istri Okan Cornelius. Entah sebuah kebetulan atau tidak, para cowo yg gw sebutkan barusan adalah 5 dari 6 penyanyi pria favorit gw. Semoga Ello tidak melakukan hal yg sama (gw pasti nangis bombay kalau sampai itu kejadian).

Mungkin untuk sebagian orang, nama dan peristiwa yg gw sebutkan bukanlah hal yg penting untuk dibahas, tidak berdampak, tidak bermakna, dan bahkan tidak layak untuk dipikirkan. Tapi buat gw, itu...... entahlah. Saat peristiwa itu terjadi gw beneran sedih merasa kecewa dan seakan gw yg telah mereka khianati.

Lebay??? Mungkin... Tapi itulah bentuk cinta gw sama mereka. Penyanyi yg begitu gw suka, baik secara kualitas vocal, maupun kepribadiannya. Mungkin memang seharusnya mereka cukup dinilai dari karyanya, bukan kehidupan pribadinya. 3 hari yg lalu gw beli CD album barunya Rio dan Marcell, rasa kecewa ini tidak mengurangi niat gw untuk tetap menghargai karya mereka.

Gw tau kalau keputusan yg mereka ambil atas kehidupan pribadi adalah hak mereka sepenuhnya. Pengemar seperti gw tidak berhak untuk berkomentar. Tapi tetap saja, banyak pertanyaan yg datang dan gw belum temukan jawabannya.

Apa sebenarnya definisi “cinta” menurut mereka. Mengapa cinta mampu memaksa mereka untuk ambil keputusan yg menurut gw salah ((maaf)) ? Kenapa mereka membuang CINTA yg sesungguhnya hanya demi cinta yg sesaat? Apakah mereka bahagia menjalani pilihan itu?

Apa atau siapa yg patut dipersalahkan? CINTA??? Tentu saja bukan dia, karena cinta tak pernah salah. Cinta hanya lahir dari hati, tanpa tau kapan waktunya, dimana, dengan siapa, dan apa situasinya. Tapi ketika cinta itu lahir, kita lah yg “membesarkan-nya”, semua berdasarkan pilihan kita. Cinta tak seharusnya seegois itu, cinta semestinya tak menyakiti Sang Pemberi Cinta, jika kita terlebih dahulu jatuh cinta pada-NYA.

Inilah keresahan yg gw rasakan. Kalau gw diposisi mereka dan merasakan cinta yg mereka punya, masihkah gw berkata hal yg sama? Atau gw pun akan mabuk oleh cinta hingga tak peduli apa kata dunia bahkan apa kata surga? Mampukah gw membunuh cinta yg baru lahir, agar dia tak sempat tumbuh dengan cara yg salah?


Jika boleh meminta, semoga gw tidak jatuh cinta pada cinta yg salah...

Senin, 13 Juli 2015

kehilangan

Sebelum beraktifitas gw terbiasa untuk berdoa. Banyak hal yg gw doakan, mulai dari minta berkat dan perlindungan untuk diri sendiri, sampai berdoa untuk Indonesia. Rutinitas itu jarang banget gw lewatkan, doa yg gw sampaikan memang terkesan monoton kalimat yg gw pakai itu lagi itu lagi, walaupun begitu gw tetap berusaha taat dan setia untuk berkomunikasi dengan-Nya. Tapi pagi itu tanggal 26 Juni 2015 adalah pagi yg berbeda dari biasanya. Hati gw ga tenang, rasanya campur aduk, ga jelas.

Ga tau kenapa, pagi itu gw bingung mau doa apa. Gw seakan kehilangan kata, ga tau harus keluarkan bilang apa. Air mata gw mengalir deras tanpa sebab, yg gw rasa saat itu cuma sedih. Setelah beberapa menit gw nangis, gw merasa agak lega dan akhirnya mampu ucapkan 1 kalimat; “Biar kehendak-Mu yg terjadi”.

Kurang dari 3 jam setelah gw ucapkan kalimat itu, gw harus terima kenyataan bahwa apa yg gw harapkan tidak sesuai dengan kehendak-Nya.

Di surut ruang itu gw duduk berbalut kesedihan yg luar biasa. Dada gw sesak seperti tak bisa bernafas, kaki lemas seperti tak bertenaga. Gw kecewa dengan yg terjadi di depan mata. Merasa ini gak adil. Kenapa jalan cerita tidak sesuai dengan apa yg gw impikan.

Gw kehilangan mimpi yg paling gw inginkan di dunia ini. Doa terpenting yg pernah terucap seumur hidup gw. Hal terindah yg gw rindukan. Semua itu harus gw relakan pergi untuk selamanya.

Mau marah, tapi sama siapa? Gw tidak seberani itu untuk marah pada Sang Pencipta. Semakin gw sugesti diri sendiri bahwa ini yg terbaik, hati gw semakin berontak. Situasi saat itu sulit untuk dijelaskan, gw seperti berperang melawan diri sendiri. Gw berusaha untuk menguasai diri dengan menyebut nama-Nya, mengingatkan diri sendiri bahwa ini adalah hak mutlak dari Sang Pencipta.

Sampai hari ini pun gw masih kehilangan, merasa ada yg tidak lengkap. Gw ga pernah bayangkan rasanya akan sesakit ini. Sulit sekali mengendalikan emosi, hati ini seakan terluka begitu dalam. Semoga ini bisa cepat berlalu, hari-hari nenyedihkan akan segera diganti dengan hari baru yg lebih menyenangkan.

Peristiwa ini memaksa gw belajar untuk mempraktekan teori-teori yg gw pahami, ayat-ayat Firman yg gw baca dan lagu-lagu yg gw nyanyikan. Seperti saat gw sekolah dulu, mungkin ini ujian praktek yg harus dilalui sebelum naik kelas.


Gw berharap kalimat ini bukan hanya terucap dari bibir, tapi bisa lahir dari ketulusan hati; “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di Surga”.

Selasa, 23 Juni 2015

bertepuk sebelah tangan

Sudah setengah perjalanan kita di tahun 2015, untuk gw pribadi tahun ini tahun yg cukup menguras emosi. Ada beberapa moment yg memaksa gw harus tetap berjalan dengan semangat padahal sebenarnya kaki ini seperti tidak ada tenaga. Berulang kali berusaha untuk tersenyum di pagi hari agar hati gw tenang, padahal pengen banget nangis. Menit ke menit bisa jadi sangat menegangkan, karena cemas kalau dapat kabar yg tidak diinginkan. Bahkan terkadang gw ga bisa tahan sampai akhirnya air mata ini mengalir begitu saja.

Sampai hari ini pun gw masih ada di tengah sikon yg tidak nyaman. Tapi untungnya gw masih yakin ini akan berakhir indah, bahkan lebih dari yg berani gw bayangkan dan melampaui logika yg gw pikirkan. Semua ini bisa gw lalui karena gw yakin akan satu hal, Kasih Tuhan jauh lebih besar dari masalah yg gw hadapi.

Bicara tentang kasih Tuhan, gw jadi nanya ke diri gw sendiri. Apakah Tuhan juga yakin kalau gw mengasihi Dia? Ataukah Dia merasa sedang bertepuk sebelah tangan?

Pertanyaan yg nampak simple itu justru membuahkan banyak pertanyaan lanjutan. Dan yg membuat gw kecewa adalah jawaban jujur dari hati kecil gw sendiri, ternyata gw tidak se-cinta itu sama Dia.

Ritual keagamaan, perintah dalam Kitab Suci ataupun nasehat pemuka agama mungkin sebagian besar gw jalanin. Gw bisa dikategorikan bukan orang jahat. Fungsi gw di tengah keluarga, kerabat, sahabat atau lingkungan kerja tampaknya juga berjalan dengan baik dan gw rasa gw tidak mempermalukan nama-Nya. Tapi apakah itu bukti kalau gw mengasihi Dia?

Untuk yg kedua kalinya gw kecewa dengan jawaban jujur hati gw. Sepertinya gw melakukan itu bukan karena Kasih/ Cinta tapi karena Takut.

Cinta akan Tuhan dan Takut akan Tuhan mungkin dua hal yg terlihat sama, tindakan yg dihasilkan pun sepertinya sama. Perbedaannya adalah di sikap hati. Mungkin gw berusaha untuk tidak berbuat dosa karena takut karma. Saat gw berbuat baik mungkin gw berharap suatu saat gw akan menuai hasilnya. Saat gw rajin berkomunikasi dengan Dia, mungkin gw berharap berkat-Nya. Jadi apakah iman gw harus se-matre itu?

Gw pikir ada yg salah dengan cara pandang gw selama ini. Tuhan kayanya gak butuh untuk dihormati, ditakuti, diagungkan, dipuji dan disembah. Karena dengan atau tanpa keberadaan gw, Dia tetap Tuhan dan tidak akan kekurangan kemuliaanNya secuil pun hanya karena gw cuekin Dia. Mungkin, Dia hanya ingin cinta-Nya tidak bertepuk sebelah tangan.

Gw daritadi ngomong pake kata “mungkin”, ya itu karena ini hanya pendapat gw. Semoga setelah ini gw dapat pencerahan, dan bisa belajar balas Kasih-Nya, entah dengan cara apa, yg jelas ini masalah hati yg ga bisa dipikir pake otak.

Suatu saat nanti saat gw “bertemu” sama Dia, gw berharap bisa bilang “Lord, I love YOU too” bukan “ Thanks for YOUR love”.

God bless u all J

Selasa, 26 Mei 2015

interview

Akhir-akhir ini gw diminta untuk bantu interview calon karyawan yg apply di perusahaan tempat gw kerja. Kita memang lagi butuh banyak orang untuk berbagai posisi, dari mulai staf sampai manager, baik untuk kantor pusat maupun untuk cabang. Gw bukan orang HRD jadi gw ga terlalu ngerti baca karakter orang dari cara ngomong, jadi sebenernya gw lebih nilai dari kemampuan secara akademis dan logika berpikir.

Awalnya gw agak kaku, bicara formal dan terlalu sistematis. Biasanya gw hanya tertarik sama cerita tentang pengalaman kerja, tanggung jawab dan pencapaian yg diraih selama perjalanan karirnya. Tapi setelah mulai bisa beradaptasi dengan situasi interview, pertanyaan gw jadi lebih variatif. Gw cenderung lebih tertarik dengan latar belakang keluarga, cita-cita, kegagalan, tantangan dan tujuan hidup. Gw mulai menikmati saat-saat gw denger cerita, padahal biasanya gw agak cuek sama kehidupan orang lain yg ga deket-deket amat sama gw. Nah ini orang yg gw tanya aja bukan orang yg gw kenal, tapi kenapa gw peduli untuk tau banyak dari dia? Gw sempet nanya sama diri sendiri kenapa bisa begitu, dan jawaban yg gw dapat adalah mungkin gw merasa jadi bagian penting di perusahaan yg harus seleksi asset paling berharga yaitu karyawan.

Calon karyawan yg gw interview secara garis besar terbagi jadi 2 yaitu yg lebih muda dari gw (fresh graduate atau baru kerja kurang dari 5 tahun), dan yg lebih senior dari gw. Saat gw interview yg senior, gw bisa sedikit belajar dari meraka tentang cara menjawab, cara menjelaskan, dengar pengalaman karir yg menarik dan gaya dalam berkomunikasi yg menurut gw bagus. Tapi setelah keluar dari ruang interview, hal itu berlalu begitu saja. Berbeda dengan para senior tsb, gw justru lebih bersemangat interview calon karyawan yg bisa gw anggap lebih junior.

Walaupun kadang-kadang para junior ini menjawab dengan gaya bahasa santai, ga tepat sasaran, bahkan ga sesuai dengan pertanyaan, gw lebih nyaman sama mereka. Gw suka dengarkan mereka cerita tentang ambisi, cita-cita, target dan tujuan hidup yg ingin dicapai. Atau kisah tentang sebagian dari mereka yg harus kerja untuk membiayai kuliah sendiri, orang tua yg tidak mendukung, kondisi ekonomi yg susah, dan ada juga yg kerja kantoran hanya untuk status karena sebenarnya dia bisa hidup dari warisan. Para junior yg secara hitungan pengalaman jauh di bawah gw, tapi malah mereka yg berhasil menginspirasi. Setelah keluar dari ruang interview, gw masih bisa rasakan energi positif dari pembicaraan tadi. Terkadang gw cerita ulang ke teman seruangan tentang kisah yg menurut gw sayang kalau tidak dibagi ke yg lain.

Sudah hampir 3 bulan gw lakukan aktifitas interview ini, tapi gw masih bersemangat dan senang jika tau akan bertemu dan berbagi cerita dengan para junior. Gw ngerasa lihat diri sendiri sekitar 5 sampai 8 tahun yg lalu. Saat dimana permasalahan hidup hanya sebatas tugas kuliah dan angan-angan menjadi orang kantoran. Tapi dibalik itu semua ada sisi idealis yg mereka junjung tinggi, pandangan mereka lurus ke depan, tidak peduli kata orang, semangat yg berkobar, harapan yg tinggi, dan pikiran positif akan masa depan.

Hal-hal itulah yg membuat junior berbeda dengan senior. Para senior cenderung realistis, kerja karena butuh uang, penempatan kerja di bagian apapun tidak masalah yg penting harga cocok. Gw sekarang sedang di fase kehidupan dari anak muda menuju dewasa (secara emosional, pola pikir dan cara pandang). Gw terkadang sulit kontrol hati dan logika yg kadang berlawanan, prinsip yg kadang tak sejalan dengan sikon yg gw hadapi, dan banyak hal lain yg bisa bikin gw seakan ga kenal diri gw sendiri.

Tidak ada yg salah dengan idealis atau realistis, masing-masing punya kekuatannya sendiri. Kekuatan yg bisa bawa kita menjadi manusia yg lebih berharga, bukan secara nominal tapi secara nilai. Gw percaya setiap manusia punya proses hidup yg unik, yg secara perlahan membentuk karakter kita. Hidup mungkin bisa memberi banyak alasan untuk buat kita jatuh, tapi saat kita punya harapan dan semangat, maka kita punya lebih banyak alasan untuk tetap jalani hidup dengan tersenyum.

Akhirnya gw temukan jawaban yg tepat, kenapa gw mau jalankan rutinitas interview ini tanpa terbebani. Gw senang karena setelah bicara banyak hal dengan mereka, gw jadi bisa lebih bersyukur sama apa yg gw dapat saat ini. Gw juga bisa lebih semangat dalam berkarir, kejar cita-cita yg mungkin sudah mulai terlupakan. Gw jadi ingat di bulan Agustus 2009 saat gw untuk pertama kalinya diinterview dan ditanya oleh seorang kepala HRD; “Mau jadi apa kamu 5 tahun yg akan datang?” Dan gw selalu tersenyum ingat jawaban saat itu, dibanding dengan apa yg gw jalani saat ini :)

Senin, 04 Mei 2015

kenapa gw harus buat blog?

Setelah sekian lama jadi pembaca blog, akhirnya gw putuskan untuk belajar jadi penulis blog. Sebenarnya udah beberapa kali niat untuk buat blog terlintas, tapi ya begitulah semua hanya berujung di niat aja. Sampai akhirnya malam pertama di bulan Mei 2015 gw yakin bahwa ini saatnya ubah niat itu jadi rangkaian kata.

Proses metamorfosis dari niat jadi tulisan gw yg pertama ini memang makan waktu cukup panjang. Gw ga pernah mimpi buat jadi blogger, apalagi obsesi jadi penulis. Tapi entahlah malam itu gw dapat wangsit darimana sampai muncul keputusan bahwa gw harus coba setidaknya buat 1 tulisan.

Tujuan gw buat blog ini simple aja, cuma pengen cerita. Cerita tentang apa yg ada di pikiran dan hati gw. Sifat gw yg cenderung pendiam memang jadi kendala dalam mengekspresikan diri. Dan gw pikir menulis adalah salah satu cara yg tepat buat gw supaya bisa menggambarkan apa yg gw rasa. Waktu gw masih usia belasan tahun, sifat pendiam gw ini belum jadi masalah. Walaupun gw lagi banyak pikiran dan ga enak hati, gw tetep bisa tidur nyenyak di jam 9 malam dan bangun jam 6 pagi tanpa jeda karena harus mikir ini dan itu. Tapi setelah gw lulus kuliah, kebiasaan ini mulai berubah.

Kata orang itu hal yg biasa, mungkin itu bagian dari proses menjadi dewasa. Dulu masalah gw ga jauh-jauh dari pelajaran yg susah, dosen nyebelin, pengen beli gadget baru, mau nongkrong di cafe keren tapi uang saku ga naik, ya pokoknya seputar kampus dan kosan. Setelah melepas status mahasiswa dan naik level jadi karyawan, hal-hal tadi yg gw anggap masalah mungkin jadi sesuatu yg justru ngangenin.

Semenjak jadi orang kantoran, gw jadi ga bisa tidur tanpa mikir ini itu sebelumnya. Ada aja hal yg terlintas, kadang-kadang masalah hati tapi lebih sering masalah kehidupan termasuk orang-orang disekitar. Perpindahan dari jalur idealis ke realistis memang cukup menguras otak dan hati. Itulah yg bikin gw banyak mikir ini itu. Dan karena seperti yg gw bilang di awal tentang kendala sebagai seorang pendiam, gw terkadang susah untuk berbagi cerita dengan orang lain, walaupun di komunitas gw sekalipun gw kurang nyaman untuk omongin apa yg lagi gw pikir dan bilang apa yg lagi gw rasa.

Semoga blog ini bisa jadi terapi gw dalam berkomunikasi. Lewat blog ini gw akan melukiskan hal-hal yg gw anggap penting untuk gw omongin. Mari kita lihat seberapa lama blog ini akan bertahan? Apakah topik tulisan gw menarik? Gimana rangkaian kata yg gw tulis ini berdampak buat otak dan hati gw?


Tulisan pertama ini gw dedikasikan untuk ko @aMrazing karena dia salah satu faktor yg buat gw akhirnya berani menulis.